Kamis, 14 Mei 2009

Sejarah Gereja Katolik Batam


Sabda Allah itu Nyata
"Beginilah hal Kerajaan Allah itu: seumpama orang yang menaburkan benih di tanah, lalu pada malam hari ia tidur dan pada siang hari ia bangun, dan benih itu mengeluarkan tunas dan tunas itu makin tinggi, bagaimana terjadinya tidak diketahui orang itu.” (Mark 4:26-27) Sabda Yesus dalam Injil Markus tersebut memang nyata tercermin dari awal mula lahir serta geliat pertumbuhan Gereja Katolik Paroki St. Petrus Lubuk Baja-Batam.

Para Perantau dari Flores
Pada tahun 1959 (atau 1956??) Theodorus Salaka parantau dari Gunung Api - Flores tiba di Pulau Batam. Ia masuk Batam bersama beberapa teman sedaerah antara lain: Moses Musa dan Markus Kopong. Tahun berikutnya menyusul Bapak Petrus Piatu Atawolo, Bernardus Lera dan Alo. Saat itu Pulau Batam masih berupa hutan belantara.

Bermula dari Doa Rosario di Rumah, Jadilah Kapela St. Maria
Di tanah asing-pulau rantauan ini, tiap hari Minggu Bapak Theodorus Salaka melakukan doa rosario di rumahnya. Lewat doa rosario itu hatinya merasa dipersatukan dengan Jemaat Katolik di kampung yang merayakan Misa Kudus di gereja. Inilah anugerah spiritual dari Allah yang mengusik jiwanya. Tergeraklah hati dan budinya. Pikirannya menggagas berdirinya sebuah kapela untuk berdoa pada hari Minggu. Begitulah getaran inspirasi rohani yang mendorong dan memberi daya pada para perantau dari Flores ini mengerahkan tenaga membangun sebuah kapela. Dibawah prakarsa dan komando Bapak Theodorus Salaka, pada tahun 1961 jadilah sebuah kapela yang dibangun di “Batu Ampar”, di sebuah pinggiran pantai Pulau Batam yang menghadap Singapura. Pantai itu kini menjadi kawasan “PT Mc Dermoott”. Kapela ini merupakan bangunan yang sangat sederhana. Semua rangka tersusun dari kayu bulat. Atapnya dari ilalang. Dinding dari bambu belah yang dianyam (gedhek). Dan lantainya adalah pasir. Untuk menunjukkan identitasnya sebagai kapela, di atas pintu bangunan ini ditempel kayu palang (salib). Tempat duduk dibuat dari kayu bulat. Dan sebagai ucapan terima kasih dan persembahan kepada Bunda Maria, bangunan ini diberi nama Kapela “St. Maria”. Sebab para perantau itu yakin bahwa atas perlindungan Bunda Maria lah petualangan perahu layar mereka dilindungi dari Flores sampai di Batam, yang waktu itu paling cepat memakan waktu 1 bulan. Di kapela St. Maria inilah para perantau itu berkumpul melakukan kegiatan rohani. Tiap hari Minggu mereka melakukan Ibadat Sabda. Tiap bulan Mei dan Oktober mereka berdoa rosario. Nyanyian ibadat dan doa mereka diambil dari buku ”Jubilate”. Kapela Santa Maria, sebuah banguan sangat sederhana tetapi menjadi tonggak penting bagi sejarah perkembangan Gereja di Pulau Batam.

Anugerah Misa Kudus di Kapela St. Maria
Antara tahun 1962 -1963 berdatangan lagi sekitar 18 orang perantau dari Flores di Batam. Suasana kegiatan doa dan ibadat di Kapela St. Maria pun makin semarak. Batu Ampar seolah menjadi ladang persemaian benih-benih persekutuan umat beriman. Persekutuan iman itu dipupuk dengan Ibadat Sabda yang waktu itu dipimpin oleh Bapak Petrus Piatu Atawolo. Munculnya persekutuan umat beriman di Batu Ampar akhirnya sampai ke telinga Pastor Rudolf Reicenbach, SS.CC, Pastor Paroki Tanjung Pinang, yang akrab dipanggil Pastor Rolf. Tahun 1963 Pastor Rolf mengunjungi umat di Batu Ampar. Umat menyambut Pastor Rolf dengan suka cita bagaikan mengalami kehadiran sang penguasa alam semesta. Pada waktu itu pula Pastor Rolf merayakan Misa Kudus di Kapel St Maria. Itulah misa yang pertama kali di situ. Bisa dibayangkan sudah sekian tahun para perantau itu tidak mengalami Misa Kudus. Maka Misa Kudus itu bagi mereka menjadi peristiwa ajaib serasa hadirnya Kerajaan Surga. Konon, saat menghangatnya konfrontasi Indonesia-Malaisia, seorang pastor tentara juga pernah merayakan Misa Kudus di Kapela St. Maria itu. Tahun demi tahun Kapela St. Maria digunakan oleh Persekutuan Umat Katolik perantau itu untuk menimba kekuatan rohani dari Kuasa Tuhan.

Kapela St. Maria Digusur, Umat Pindah ke Sei Jodoh
Delapan tahun berlalu kehidupan rohani Umat Katolik terpelihara dalam Kapela St. Maria. Tahun 1969 perusahaan asing masuk Batam. Salah satunya, “PT. Enggram” yang membangun lokasi perusahaannya di pantai Batu Ampar. Perluasan lokasi perusahaan PT ini merambah hingga lokasi Kapel St Maria. Tanpa ganti rugi, Kapela St. Maria dibongkar. Dan masyarakat yang tinggal di Batu Ampar pun pindah di Sei Jodoh, di lokasi yang sekarang adalah komplek Tanjung Pantun-BCA dan sekitarnya. Bongkaran Kapela St Maria sudah lapuk, sehingga tidak bisa digunakan lagi. Umat Katolik di Sei Jodoh tidak punya kapela lagi. Tak ada ”Rumah Tuhan” sebagai sarana berkumpul dan beribadat. Maka aktivitas doa rosario dan Ibadat Sabda hari Minggu diadakan di tempat bergilir dari rumah ke rumah umat. Situasi ini disampaikan kepada salah satu karyawan PT Enggram yang punya posisi penting dan beragama Katolik, bernama Bapak Yosef Wuisan untuk membatu mencari jalan supaya umat punya Rumah Tuhan lagi. Pendekatan Pak Yosef Wuisan membuahkan hasil. Mr Dupon, personalia PT Enggram mengijinkan kayu di satu gudang yang sudah tidak dipakai oleh PT, digunakan untuk bangunan gereja. Sayangnya, pada saat bersamaan, di tempat umat mau membangun kapela, di tempat itu pula PT Dwi Putra melakukan pembangunan jalan jalur Batu Ampar-Jodoh-Nagoya. PT Dwi Putra menyarankan agar gereja dibangun di Tanjung Uma. Tentu saja umat Katolik keberatan, mereka Tinggal di Sei Jodoh, sedangkan antara Sei Jodoh dan Tanjung Uma tidak ada jembatan penghubung.

Jasa Seorang Haji
Seorang muslim bernama Bapak Haji R. Muhammad dari Tanjung Uma sungguh menyumbangkan jasa besar bagi Umat Katolik di Sei Jodoh waktu itu. Bapak Haji ini mendekati PT Dwi Putra supaya mengijinkan gereja dibangun dekat masjid Raya Jodoh, berlokasi di kebun milik Pak Haji itu sendiri. Begitulah umat mendapatkan kembali lahan untuk mendirikan bangunan Kapela St. Maria di Jodoh, bersebelahan dengan Masjid Raya. Kerukunan, saling membantu dan toleransi dengan kaum muslim sudah terjadi saat itu.

Gotong Royong Umat Membangun Kembali Kapela St. Maria
Tahun 1974 umat Katolik Sei Jodoh memulai pembanguan Kapela St Maria. Panitia pembangunan pun disusun, dengan ketua: Bapak Theodorus Salaka, wakil ketua: Bapak Petrus Piatu Atawolo, sekretaris: Bapak Hendrik Manampiring dan seksi tukang: Bapak Bernardus Solor. Umat Katolik bergotong royong menanggung pembangunan kapela ini. Umat yang punya penghasilan gaji dari kerja menyumbang dalam bentuk uang. Umat yang tidak bergaji menyumbang tenaga sebagai tukang atau mencari kayu dari hutan. Atap seng waktu itu disumbang oleh Bapak Lukas Ahok, umat Katolik yang kerja di PT Enggram, yang sekarang tinggal di Tanjung Uma. Begitulah Kapela St. Maria dibangun kembali dari umat oleh umat dan untuk umat Katolik.

Bangunan Kapela St. Maria Dikembangkan
Dari tahun ke tahun umat Katolik di Sei Jodoh semakin bertambah. Pertambahan umat menuntut perhatian pastoral yang lebih. Perlu kunjungan pastor, perlu katekis. Maka bangunan kapela ditambah dengan kamar di samping dan belakang untuk menginap pastor yang berkunjung dan tempat tinggal katekis. Berikut katekis yang pernah ditugaskan di Batam, berturut-turut adalah: Petrus Kopong, Marlan Sudarwa, Aloysius Umar, Yacobus Sudiono, ST. Leo Supriyadi, Murtaji, Marselinus, Yosef Widardi, Agus Supriyanto. Tugas para katekis waktu itu difokuskan pada pastoral keluarga, liturgi, kaum muda, persiapan penerimaan sakramen. Semua katekis tersebut pernah menempati bangunan di Kapela St. Maria Jodoh.

Kapela St. Maria Dipindahkan ke Bukit Baloi
Kuasa pengembang Pulau Batam oleh pemerintah dilimpahkan kepada OTORITA BATAM. Pada tahun 1983 Otorita mengembangkan kawasan Sei Jodoh menjadi pusat perdagangan, perhotelan dan pertokoan. Maka pemukiman masyarakat di kawasan Sei Jodoh dipindahkan ke Seraya, Pelita, Baloi Indah, Baloi Centre serta Blok II sampai dengan Blok IV. Kapela St. Maria Sei Jodoh pun harus dipindahkan lagi. Pada tahun 1983 panitia pemindahan gereja menerima lahan dari Otorita Batam, yaitu ”Bukit Baloi”. Di lokasi inilah sampai sekarang berdiri bangunan gereja Katolik Lubuk Baja.

Berakhir Menjadi Gereja St. Petrus
Bukit Baloi, lokasi baru yang diberikan oleh Otorita untuk bangunan gereja, ternyata penuh dengan bebatuan. Umat Katolik harus bekerja keras dengan bergotong royong meratakan tanah, memecahkan batu-batuannya dan akhirnya berdirilah bangunan gereja permanen. Bangunan permanen ini kemudian diberi nama ”Gereja Santo Petrus”. Nama yang sesuai mengingat letaknya yang di atas lokasi berbatu. Petrus berarti batu karang (Mat 16:18). Nama St Petrus kebetulan juga disandang oleh sederetan tokoh yang berperan dalam perkembangan Gereja St. Petrus, pengajar katekumen sebelum ada katekis: Petrus Kopong dari Flores; pemborong bangunan waktu itu: Petrus Tandiono; gembala gereja waktu itu: Pastor Petrus Tundhe Markers, SS.CC; koster pertama kali waktu itu: Petrus Nuryanto. Bangunan Gereja St. Petrus diberkati oleh Administrator Keuskupan Pangkalpinang Mgr. Reichen Bach, SS.CC dan diresmikan oleh Kabalag Otorita Batam, Bapak Sudarsono. Meskipun masih harus duduk di kursi seadanya pindahan dari Sei Jodoh dan sebagian harus duduk di tikar untuk beribadat, mulai saat itu umat memiliki tempat ibadat permanen: Gereja St. Petrus sebagai Rumah Tuhan, tempat menimba kekuatan rohani.

Di Atas Batu Bukit Baloi Dibangun Kembali St. Petrus yang Megah
Gereja St. Petrus yang tidak lagi mampu menampung umat. Bukan kebetulan bahwa Pastor Paroki: Pastor Peter Bruno Sarbini, SVD pada tahun 2005 bersama dengan sekelompok umat yang diberi nama ”Team Sembilan” tergerak untuk menggagas pembangunan kembali Gereja St. Petrus yang mampu menampung lebih banyak umat. Selain lebih besar, bangunan ini juga dirancang dengan nilai artistik. Banguan megah Gereja St Petrus membuat para tokoh awal terharu, penuh syukur menyadari kebesaran penyelenggaran Tuhan lewat para tokoh yang bekerja sama dengan umat yang digunakan oleh Tuhan menjadi sarana pengembangan Kerajaan Allah.